Menjelang akhir tahun seperti sekarang ini, hampir menjadi agenda semua perusahaan untuk membuat Business Plan untuk Tahun 2009 yang pastinya sangat menantang. Gimana tidak..? Sejak sinyal krisis mulai menunjukan gejala awalnya (IHSG terjun 8% dalam satu hari - turun sekitar 100 poin) di akhir Juli 2007 akibat krisis perumahan kelas kambing di USA hingga program penyelamatan berupa bailout sebesar $US 700 miliar untuk mengatasi krisis finansial dan terakhir bailout untuk "The Big Three" - perusahan otomotif yang ditolak oleh Senat (DPD nya) sehingga akhirnya Goerge Bush (yang.. baru aja dilempar sepatu sama wartawan Irak) menyetujui bailout sebesar $US 17 miliar, telah membawa dampak yang signifikan pada kondisi perekonomian dunia... termasuk dalam hal ini perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Salah satu rekan kerja disamping saya, selalu mengupdate jika ada informasi pembatalan pembelian unit oleh pelanggan dengan alasan yang relatif sama .. yaitu masalah likuiditas. Semua mengejar likuiditas, semua dalam tingkat berpikir yang sama yaitu "Cash is The King", sampai-sampai ada satu produk yang sudah didiskon hingga 50%an, tapi dasar memang.. yang jadi masalah adalah likuiditas.. program diskon produk itu tidak mendapat sambutan yang hangat dari pelanggan. Selain itu juga memang ..harga produknya kan bukan puluhan juta...tapi ratusan juta bahkan ada yang 1 Mber...

Lalu... bagaimana hubungannya dengan judul diatas..?

Hubungannya baik baik aja sih....adalah, dengan kondisi diatas tadi maka perusahaan cenderung melakukan efisiensi agar perusahaan bisa survive.., tidak muluk-muluk untuk bisa bertumbuh, bisa bertahan pada tahun 2009 - 2010 saja sudah sangat bersyukur. (Jadi ingat .. ada sharing dari rekan yang di perusahaannya menyepakati penurunan gaji karyawan dengan catatan tidak ada PHK, karena menurut karyawan.. penurunan Gaji jauh lebih baik daripada di PHK.. karena mencari kerja lagi pasti jauh lebih susah. Kesepakatan yang layak diacungkan JEMPOL).

Salah satu yang perlu diefisiensikan adalah komponen biaya pengembangan karyawan. Nah.. ini menjadi tantangan tersendiri buat para pekerja SDM, Kepala Cabang dan Kepala Departemen yang nota bene juga Karyawan. Secara prinsip, pengembangan karyawan tidak hentikan hanya saja perlu dikontrol dengan tepat sehingga output yang diharapkan bisa mendukung Goals perusahaan secara umum.

Tantangannya apa..? Ya.. tantangannya adalah MindSet Tentang Metode Pengembangan Karyawan yang dipahami secara umum oleh karyawan bahkan lebih berat lagi oleh superiornya. Masih banyak pemahaman tentang metode pengembangan karyawan itu dilakukan dengan memberangkatkan sub-ordinate nya ke kelas-kelas training (Off Job Training) di luar cabang atau di luar kantor yang sebenarnya hanyalah Knowledge saja yang diperoleh. Meskipun memang knowledge itu perlu sebagai bagian yang diperlukan untuk mengkristalisasikan Skill dan Ability menjadi sebuah Kompetensi. Namun dominasi metode pengembangan karyawan dengan cara Off Job Training ini menutupi kekuatan metode On Job Training yang memberikan dampak yang lebih dibandingkan dengan Off Job Training, khususnya untuk pengembangan kemampuan teknis bahkan dari sisi biaya bisa jauh lebih murah... tapi bukan murahan.

On Job Training yang dilakukan secara terjadwal dan terencana yang melibatkan proses Mentoring didalamnya dan proses Coaching & Counselling pada akhir On Job Training oleh superiornya merupakan metode yang juga membangun budaya menjadi organisasi yang belajar, istilah kerennya Organization Learning

Coba bayangkan ya.., *jangan bayangin macem-macem lho.. *, setiap karyawan yang ingin dikembangkan kompetensinya dibuatkan objective pencapainnya, disusun jadwalnya dan ditentukan mentornya, setelah selesai On Job Training, superior melakukan proses Coaching & Counseling, berdasarkan hasil laporan Mentoring oleh Mentor, kepada karyawan tersebut. Dan terakhir sebelum semua dokumen terkait didokumentasikan sebagai bahan referensi kala mencari suksesor..., karyawan tersebut dapat diminta untuk membuat laporan hasil On Job Training serta mempresentasikannya kepada fungsi-fungsi yang terkait

Untuk satu kali On Job Training sebagaimana proses sederhana diatas, beberapa pihak yang terlibat dapat mengasah keterampilannya masing-masing.

  1. Peserta OJT, mendapatkan kesempatan belajar secara langsung dari sumbernya. Belajar menuangkan pemahaman dalam kepalanya melalui komunikasi diatas kertas dengan uraian kata-kata menjadi kalimat yang mudah dipahami oleh orang lain, serta belajar tentang Public Presentation.
  2. Mentor, mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengasah kemampuan melakukan Corrective Feedback secara terstruktur, sistematis dan efektif.
  3. Superior, mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengasah kemampuannya melakukan Coaching & Counseling dan kesempatan untuk lebih dekat lagi untuk mengetahui masalah-masalah yang sering dihadapi oleh sub-ordinate

Dan masih banyak lagi.....!!!!!!!

-oOo-

Setelah selesai mengikuti On Job Training biasanya karyawan akan memiliki pemahaman jauh lebih baik dari sebelumnya yang bisa menstimulus otak kanannya untuk berpikir lebih kreatif mencari improvement. Nah.. ada baiknya juga proses berpikir kreatifnya bisa diakomodir oleh perusahaan sebagaimana dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Jepang.

Jadi dengan metode On Job Training diatas, biaya yang dikeluarkan jauh lebih kecil atau mungkin sama, namun hasilnya bisa jauh lebih besar dan efektif karena dampaknya tidak sebatas hanya untuk karyawan tersebut saja tapi juga bagi mentor dan superiornya.

-oOo-

Tulisan diatas berdasarkan sudut pandang saya pada sebuah sub-organisasi, dimana peran superior untuk melakukan Coaching & Counselling sangat diperlukan dan untuk mendorong mempraktekannya dengan benar (karena sudah ikut trainingnya tapi jarang dipraktekan secara terstruktur).

Jadi sekali kayuh.. (Sub Ordinate OJT) dua... tiga... pulau terlampaui (Mentor & Superior mengasah keterampilan Mentoring dan Coaching & Counselling)



0 comments

//infolink script//